TANGGAL 10 Mei merupakan "Hari Lupus Sedunia." Saat ini diasumsikan terdapat 5 juta penderita lupus di seluruh dunia. Tidak kurang dari 200.000 orang di antaranya berdomisili di Indonesia. Di Bandung, diasumsikan ada 3000 penderita, 700 di antaranya telah terdiagnosis.
Hasil penelitian terhadap 264 penderita lupus di Bandung menunjukkan bahwa 93% penderitanya adalah wanita (di Amerika 90%). Sebagian besar berusia antara 14-35 tahun. Walaupun tidak seganas kanker, angka kematiannya sebanding dengan penyakit jantung koroner. Dampak lupus terhadap kualitas hidupnya sangat besar, apalagi jika diingat bahwa sebagian besar penderitanya adalah wanita usia produktif.
Lupus adalah penyakit autoimun, sejenis alergi terhadap diri sendiri. Zat anti yang dibentuk sistem kekebalan tubuh yang biasanya berfungsi melindungi tubuh melawan kuman, virus dan benda asing lainnya, malahan berbalik menyerang jaringan tubuhnya sendiri. Hal ini menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah, demam, sakit kepala, rambut rontok, nyeri sendi-sendi, otot ngilu, kurang darah, dan kerusakan berbagai organ penting seperti ginjal, susunan saraf, paru, serta jantung. Tampilan penyakit ini sedemikian beragam, dan setiap pasien mempunyai serangkaian gejala yang sangat berbeda.
Lupus dapat pula tampil mirip dengan penyakit lain, seperti artritis reumatoid, tuberkulosis, demam berdarah dengue, demam tifoid dan lain-lain, sehingga sulit terdiagnosis atau bahkan didiagnosis dengan penyakit lain yang mempunyai gejala mirip dengannya. Lupus dapat disertai dengan penyakit lainnya seperti radang kelenjar gondok, meningkatnya kekentalan darah, bahkan beberapa penyakit kanker seperti kanker indung telur. Hal ini tentu saja lebih mempersulit diagnosis dan pengobatannya.
Segi medis
Dari segi medis, ada tiga hal utama yaitu masalah kesulitan diagnosis, pengobatan dan kesulitan obat.
Ada kesulitan diagnosis masalah lupus ini. Para dokter di Indonesia dapat dikelompokkan atas dokter yang familier dengan lupus (yang jumlahnya masih sedikit) dan yang belum familier. Yang familiarpun derajat pemahaman dan kompetensinya sangat beragam. Sebagian dari kelompok ini kemudian tertarik untuk mendalami lebih lanjut dan dikenal sebagai dokter pemerhati lupus.
Karena tampilan dan gangguan organ yang diakibatkan lupus sangat beragam, para penderitanya tidak berobat ke satu spesialisasi. Mereka mengunjungi berbagai spesialis bahkan subspesialis seperti spesialis kulit, penyakit dalam, subspesialis reumatologi, ginjal, darah, dan imunologi, tergantung dokter mana yang tersedia dan gejala mana yang lebih dominan. Diagnosis didasarkan pada hasil wawancara medis, pemeriksaan fisis dan laboratorium. Pada lupus belum ada satu pemeriksaan laboratorium pun yang menjadi standar baku untuk diagnosis.
Diagnosis biasanya dibuat berdasarkan kriteria yang disusun oleh para pakar reumatologi Amerika. Ada 11 kriteria spesifik untuk lupus yakni: nye-ri dan radang sendi, sariawan mulut atau hidung, bercak merah pada kulit pipi dan daerah lainnya sebesar uang logam, fotosensitif, radang ginjal, gangguan sistem darah, radang selaput paru dan jantung, radang syaraf otak, pemeriksaan anti dsDNA positif dan test ANA positif.
Untuk kepentingan klinis tidak perlu menunggu gejalanya lengkap 4 dari 11 parameter tersebut. Jika ada satu atau dua gejala klinis ditambah dengan pemeriksaan ANA/anti dsDNA positif, atau gangguan beberapa organ tanpa pemeriksaan laboratorium sebenarnya sudah dapat menentukan diagnosis lupus.
Selainmasalah diagnosis, ada juga persoalan pengobatan. Para dokter sangat berhati-hati dalam menetapkan diagnosis lupus. Kalau salah diagnosis, pasien akan dirugikan karena harus menjalani kecemasan dan terapi yang tidak pada tempatnya. Selain menghamburkan biaya, ia berisiko efek samping obat. Namun di lain pihak, kehati-hatian yang berlebihan dapat pula merugikan. Jika terus menunggu sampai gejalanya lengkap, maka keadaannya sudah berat karena banyaknya organ yang terkena. Pengobatanpun terlambat dan terpaksa menggunakan obat-obatan yang lebih agresif dengan harga yang jauh lebih mahal dan efek samping yang lebih berat.
Pada penderita yang sedang hamil, dapat terjadi beda pendapat antara dokter yang mengobati lupusnya dengan dokter yang menangani kehamilannya. Hal ini muncul karena perbedaan sudut pandang. Dokter lupus lebih memikirkan kelangsungan hidup ibu sedangkan dokter kandungan sangat mengkhawatirkan efek samping obat terhadap kondisi janin.
Lebih baik lagi kalau di rumah sakit rujukan dibentuk tim penanganan lupus terpadu dari berbagai disipilin yang terkait. Tim seperti ini telah dirintis oleh Direktur RS Hasan Sadikin dengan membuat wadah Kelompok Studi Lupus baru-baru ini. Karena sebagian besar pasien lupus mengalami berbagai gangguan organ, seringkali dibuat tidak nyaman karena harus berkunjung ke beberapa dokter/klinik. Dalam satu minggu harus berkunjung berkali-kali ke berbagai klinik/dokter yang berbeda. Perlu dipikirkan bersama agar tersedia tim dokter yang dapat menangani secara terpadu pada satu hari yang sama di klinik khusus lupus.
Ketersediaan obat juga menjadi masalah aspek medis. Sebagian kasus lupus dapat diatasi oleh steroid dengan dosis yang bervariasi sesuai beratnya penyakit. Namun 40% diantaranya memerlukan kombinasi dengan immunosuppressant. Adapun obat biologik, plasmapheresis, cangkok stem cell yang biayanya sangat mahal sekarang telah pula digunakan untuk kasus-kasus yang lebih rumit dan tak lagi mempan dengan pengobatan baku.
Segi penderita
Dalam hal dampak penyakit dan pengobatannya, seperlima pasien menderita lupus ringan yakni mengenai kulit dan sendi. Namun sebagian besar penderita mengalami gangguan berbagai organ tubuh yang berpotensi menurunkan kualitas hidup, baik akibat langsung dari penyakitnya maupun komplikasi seperti penyakit jantung koroner, depresi dan ansietas. Saat terdiagnosis, banyak penderita yang tak mau menerima kenyataan bahwa dirinya menderita lupus. Sebagian di antaranya tak mau melanjutkan pengobatan atau mencoba pengobatan non medis.
Di samping akibat langsung dari penyakitnya, penderita juga berisiko mengalami efek samping obat. Obat utamanya adalah steroid dan penekan kekebalan tubuh yang harus dipergunakan dalam jangka panjang. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping seperti osteoporosis, muka bulat, dan rentan terhadap infeksi termasuk TBC. Penderita lupus dianjurkan berobat secara teratur. Jika akan mencoba pengobatan di luar medis, sebaiknya didiskusikan dulu dengan dokter yang merawatnya. Penderita dianjurkan untuk menghindari faktor yang dapat mencetuskan kambuhnya lupus seperti paparan sinar matahari dan lampu fluoresens, konsumsi makanan berpengawet, penyedap rasa, zat warna, cat rambut, asap rokok serta obat-obatan yang mengandung sulfa.
Karena pemahaman terhadap lupus masih samar-samar, ada yang menyangka lupus adalah penyakit keturunan, menular dan penyakit aneh. Banyak penderita diminta berhenti bekerja oleh boss nya.. Ada pernikahan yang dibatalkan karena calon mertua tak mau punya menantu penderita lupus.
Segi sosial
Dari segi sosial, penderita lupus memerlukan dukungan dari keluarga dan lingkungan, dukungan kelompok pendukung (support group), pemerintah, dan dukungan organisasi profesi.
Keluarga sebaiknya aktif meningkatkan pengetahuan mengenai lupus, sehingga dapat bersikap secara proporsional. Jika penderita tak dapat menjalankan fungsinya dalam rumah tangga, keluarga harus dapat menggantikan perannya. Biaya pengobatan sangat berpengaruh pada anggaran keluarga, apalagi kalau penderita adalah tulang punggung keluarga.
Lupus jarang mengenai pria, namun mereka lebih rentan dan cenderung lebih berat. HRD dari institusi tempat penderita bekerja atau wali kelas dan kepala sekolah sebaiknya meminta pertimbangan dokter yang berkompeten terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu yang menyangkut nasib penderita lupus yang berada dalam kewenangannya.
Di Indonesia terdapat dua support group yakni Care for Lupus Yayasan Syamsi Dhuha dibawah pimpinan Dian Syarief dan Yayasan lupus Indonesia dibawah pimpinan Tiara Savitri. Dukungan yang diupayakan oleh kedua yayasan tersebut sejalan dengan apa yang telah lebih dahulu diselenggarakan oleh yayasan serupa di negara lain yakni penyediaan informasi, penyelenggaraan edukasi kelompok, advokasi, dan bantuan finansial untuk kelompok tak mampu. Support group secara bahu membahu dengan para dokter pemerhati lupus meningkatkan kualitas hidup penderita lupus.
Peran pemerintah juga diperlukan. Seperlima penderita lupus berasal dari keluarga miskin, seperlima mempunyai asuransi kesehatan, seperlima dari keluarga berada, 2/5 tidak kaya tapi belum termasuk kriteria miskin dan tak punya asuransi kesehatan. Pemerintah telah mulai mengayomi mereka yang miskin melalui asuransi kesehatan keluarga miskin. Obat yang tersedia di Askes cukup baik untuk penanganan kasus ringan sampai sedang. Namun untuk kasus berat belum tersedia secara rutin. Diharapkan untuk kasus kritis penyediaan obat yang lebih lengkap sesuai indikasi melalui pengendali Askes dapat lebih disederhanakan untuk mempercepat dan memperbaiki pelayanan dan pengobatan. Pengadaan obat standar dengan harga terjangkau seperti yang telah pemerintah berikan kepada para penderita HIV juga perlu dipertimbangkan.
Selain itu, peranan organisasi profesi diperlukan untuk meringan kan penderita. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan beberapa organisasi profesi yang terkait erat, seperti perhimpunan ahli penyakit dalam, ahli penyakit kulit, reumatologi, alergi-imunologi, ahli syaraf, kesehatan jiwa perlu berperan serta dan melakukan sinergisasi.
Organisasi IDI, sebaiknya menyelenggarakan pendidikan kedokteran berkelanjutan untuk para dokter yang berminat bekerja sama dengan rumah sakit dan fakultas kedokteran untuk meningkatkan kemampuan diagnostik dan pengobatan lupus dengan segala keragamannya.
Selain itu, perlu kerja sama dengan support group dan media masa yang peduli lupus dalam tersedianya informasi yang benar dan up date mengenai lupus dan dimana tersedia pelayanan konsultasi untuk penderita lupus diseluruh Indonesia.
Untuk semakin memahami lupus, kiranya perlu penelitian untuk mendapatkan data epidemiologi dan registry lupus, serta membuat pedoman diagno sis dan pengobatan lupus yang baku dan diakui untuk digunakan di seluruh Indonesia.***
Penulis, dokter pemerhati lupus, berdomisili di Bandung.
No comments:
Post a Comment